Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Keluarga Berencana (KB), Aborsi, dan Inseminasi Buatan dalam Islam

 


Kehamilan merupakan proses reproduksi alamiah yang terjadi dalam relasi hubungan suami istri, fase kehamilan adalah fase awal dalam membina keluarga karena kelak akan melahirkan seorang anak yang menjadi tanggung jawab sekaligus amanah bagi orang tua. Memiliki keturunan dewasa ini bukanlah hal yang mudah, perlu kesepakatan bersama antara suami istri dan kesanggupan menjalankan tanggung jawab yang cukup panjang.

Semakin berkembangnya zaman, maka semakin banyak pula hal yang berubah. Memiliki keturunan (anak) sering kali dianggap sebagai tujuan untama pernikahan. Jika memiliki banyak anak maka semakin baik dan kukuhlah masa depan keluarga. Lalu kemandulan yang diderita suami atau istri bisa dijadikan alasan untuk menikah lagi atau pun bercerai. Namun, dewasa ini pandangan mulai bergeser. Tidak memiliki anak bagi sebagian pasangan tidak menjadi masalah, lahirlah gerakan childfree yang menegasikan bahwa kehidupan rumah tangga tanpa adanya keturunan. Banyak cara lain yang bisa dilakukan seperti mengangkat anak saudara atau anak orang lain yang tidak dikenal sekali pun.

Namun pada kenyataannya, tidak semua pasangan suami istri dapat melahirkan keturunan (anak), bahkan ada pula yang tidak ingin memiliki anak karena alasan tertentu. Jadi, memiliki anak atau tidak bukan merupakan kepastian dalam menjalani rumah tangga (relasi seksual). Dalam keadaan normal, jika seseorang menginginkan anak maka lakukanlah hubungan seks secara baik dan sehat. Namun, jika tidak menginginkannya maka gunakanlah alat pencegah kehamilan (kontrasepsi). 
Dalam menentukan kehamilannya terdapat beberapa cara, yaitu:

1)               Keluarga Berencana (KB)

KB dalam bahasa Inggris disebut dengan family planning atau birth control, ada juga yang menyebutnya dengan planning parenthood. Sedangan padanan Arabnya disebut تحديد النّسل atau juga disebut تنظيم النّسل atau تقليل النّسل .[1] Menurut Bagian Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran Bandung, pengertian KB secara umum adalah suatu usaha yang mengatur banyaknya jumlah kelahiran sedemikian rupa sehingga bagi ibu maupun bayinya dan bagi ayah serta keluarganya atau masyarakat yang bersangkutan tidak akan menimbulkan kerugian sebagai akibat langsung dari kelahiran tersebut. Sedangkan pengertian khususnya, KB dalam kehidupan sehari-hari berkisar pada  pencegahan kontrasepsi atau pencegahan terjadinya pembuahan atau mencegah pertemuan antara sperma laki-laki dengan sel telur perempuan. Menurut WHO (World Health Organization), KB adalah tindakan yang membantu individu atau pasangan suami istri untuk mendapatkan hal objektif tertentu, menghindari kelahiran yang tidak diinginkan, mendapatkan kelahiran yang diinginkan, mengatur interval diantara kehamilan dan menentukan jumlah anak dalam keluarga.[2]

Sedangkan menurut Mahmud Syaltut, Keluarga Berencana (KB) adalah pengaturan dan penjarangan kelahiran atau usaha mencegah kehamilan sementara atau bahkan untuk selama-lamanya sehubungan dengan situasi dan kondisi tertentu, baik bagi keluarga yang bersangkutan maupun untuk kepentingan masyarakat dan negara.[3]Jadi sebenarnya berbicara mengenai KB bukan hanya menyangkut seorang individu sendiri, melaikan menyangkut kemaslahatan orang banyak (masyarakat dan negara).

Dari petunjuk-petunjuk global diperoleh pijakan-pijakan kukuh yang berkaitan dengan kependudukan, sebagai contoh dapat dikemukakan dalam al-Qur’an yang menegaskan bahwa alam raya berjalan atas dasar pengaturan yang serasi dan perhitungan yang tepat.[4] Ibadah yang dituntut pelaksanaannya pun berdasarkan keserasian dan perhitungan , demikian pula halnya  shalat, zakat, puasa, dan haji. Hal-hal tersebut mengantar seorang Muslim untuk menyadari perlunya perhitungan-perhitungan yang tepat serta keserasian dalam kehidupannya, termasuk dalam kehidupan rumah tangga (jumlah keluarga) yang harus diserasikan  dengan kemampuan ekonominya.[5]

Nabi pernah bersabda:

تَزَوَّجُوْا الْوَلُوْدَ الْوَدُوْدَ فَإِنِّيْ مُبَاهٍ بِكُمُ الْأُمَمَ يَوْمَ الْقِيَامَة[6]ِ

Artinya: Kawinilah (perempuan yang berpotensi) melahirkan banyak anak dan yang merasa karena aku akan berbangga dengan kamu dihadapan umat-umat lain pada hari kiamat.

Kebanggaan yang dimaksud Rasul saw itu tentu saja, tidak bisa dilepaskan dari kualitas yang dibanggakan karena kualitas inilah yang harus diutamakan. Jika banyak tanpa kualitas, hal tersebut tidak mungkin akan membanggakan tetapi justru sebaliknya. Kemajuan dan kesejahteraan bangsa-bangsa dewasa ini, tidak ditentukan kuantitasnya, tetapi ditentukan  kualitasnya, dan alngkah banyaknya kelompok kecil yang berkualitas mampu mengalahkan  kelompok besar yang tidak berkualitas.[7] Atas dasar inilah pengaturan kelahiran dapat dibenarkan demi kualitas pendidikan anak. Bahkan, Imam Ghazali membenarkan ‘azl (coitus intruptus)[8] walaupun dengan alasan memelihara kecantikan perempuan.[9]

‘Azl pernah dilakukan oleh sebagian Sahabat Nabi yang menjimaki budak-budaknya tetapi mereka tidak menginginkan kehamilan. Demikian pula terhadap istri mereka setelah mendapat izin sebelumnya. Peristiwa ‘azl ini mereka ceritakan kepada Nabi seraya mengharapkan petunjuk Nabi tentang hukumnya. Ternyata Nabi tidak menentukan hukumnya, sementara wahyu yang masih turun juga tidak menentukan hukumnya.  Mengenai ‘azl diungkapkan dalam sebuah hadis:

عَنْ جَابِرٍ قَالَ كُنَّا نَعْزِلُ عَلَى عَهْدٍ رَسُوْلُ اللّهِ- صَلَّ اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - فَبَلَغَ ذَلِكَ نَبِيَ اللّهِ- صَلَّ اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – فَلَمْ يَنْهَنَا . وَفِي الرِّوَا يَةِ الْقَرْاَن يَنْزِلُ .

Artinya: Dari sahabat Jabir berkata: “kami melakukan ‘azl pada masa Nabi Saw sedangkan ketika itu al-Qur’an masih turun, kemudian berita peristiwa ini sampai kepada Rasulullah dan beliau tidak melarang kami”.[10] Dalam “riwayat lain disebutkan “dan ketika itu al-Qur’an masih turun”.[11]

Hadis di atas merupakan hadits taqriri yang menunjukkan bahwa perbuatan ‘azl yang dilakukan dalam rangka upaya menghindari kehamilan dapat dibenarkan (tidak ada larangan). Jika ‘azl dilarang maka akan dijelaskan dalam al-Qur’an yang masih turun pada waktu itu atau ditegaskan oleh Nabi sendiri. Nabi hanya mengingatkan ‘azl hanya berupa ikhtiar manusia untuk menghindari kehamilan, sedangkan kepastiannya ada di tangan Tuhan.[12]

2)           Aborsi (Menggugurkan Kandungan)

Aborsi menurut etimologi berasal dari bahasa Inggris abortion: miscarriage, yang berarti pengguguran kandungan. Abortus artinya keguguran. Aborsi menurut terminologi adalah abortion: expultion of foetus from tlie womb during the first 28 weeks of pregnance.[13]Aborsi atau abortus adalah pengakhiran kehamilan baik belum cukup waktu, yaitu dibawah usia 20 sampai 28 minggu, maupun belum cukup berat, yait di bawah 400 gr sampai 1000 gr. Ada juga yang mengambil sebagai batas untuk abortus berat anak antara 500 gr sampai 999 gr disebut partus immaturus.[14]

Bila ditinjau dari segi linguistik dalam perspekstif Islam, kata “abortus” atau “aborsi” dikenal dengan ungkapan al-Ijhadh atau Isqath al-Haml, yang berarti menjauhkan, mencegah, penguguran janin dalam rahim [15] Atau dengan kata lain didefinisikan sebagai keluarnya atau gugurnya kandungan dari seorang ibu yang usia kandungannya belum mencapai 20 minggu.[16]

Sebelum menjelaskan berbagai pandangan pakar hukum Islam, terlebih dahulu perlu digaris bawahi bahwa seseorang yang hamil tanpa didahului oleh nikah yang sah, lalu menggugurkan kandungannya, ia telah melakukan dosa berganda. Sekali karena kehamilannya, dan di kali lain karena aborsi yang ia lakukan. Ketika para ulama berbicara tentang aborsi, pembicaraan mereka pada hakikatnya tertuju kepada perempuan-perempuan yang telah menikah secara sah dan bermaksud melakukan aborsi karena satu dan lain sebab.[17]

Dalam Islam, pembagian aborsi (janin dibawah usia 120 hari) dapat dilakukan atas beberapa kategori yaitu:[18]

1)      Al-Isqath Al-Dharuri (Pengguran Darurat), jika menurut perhitungan medis keselamatan ibu bisa terancam jika tidak menggugurkan kandungannya, maka pengguguran (atas janin bersangkutan) dibolehkan oleh agama;

2)      Al-Isqath Al-Ikhtyari yaitu pengguguran kandungan bukan karena alasan medis, tetapi dikarenakan alasan realita sosial kehidupan orang tuanya atau karena pertimbangan si bayi itu sendiri.

Fuqaha kontemprer menggunakan kata al-ijhadh bentuk mashdar dari kata ajhada yang berarti perempuan yang melahirkan secara paksa dalam keadaan belum sempurna penciptaannya atau kelahiran janin karena dipaksa dan juga lahir dengan sendirinya sebelum waktunya. Al-Ijhadh digunakan oleh para dokter Arab untuk pengguguran kandungan yang masih muda. Sedangkan untuk kandungan yang sudah tua digunakan istilah isqath al-haml.[19]

     Beragam macam pendapat ulama mengenai aborsi, diantaranya:

a)        Madzhab Hanafi, dikemukakan oleh Al-Hashkafi[20] aborsi dibolehkan sebelum berlalu masa empat bulan dari usia kandungan baik seizin suami maupun tidak, karena sebelum empat bulan roh belum lagi ditiupkan ke rahim (belum disebut manusia hidup). Akan tetapi, ini bukan berarti bahwa pengguguran tersebut tidak mengakibatkan dosa. Hanya saja dosanya tidak seperti dosa membunuh manusia. Yang menggugurkan tetap dosa apabila menggugurkan tanpa alasan yang dibenarkan. Seperti alasan masih memiliki bayi yang membutuhkan ASI dari si ibu, atau si ibu merasa sangat berat mengandung apabila melahirkan secara caesar.[21] Konsekuensi dari pengguguran kandungan dibawah usia empat bulan yaitu dianggap bukan dosa besar dan tidak dapat dikenakan sanksi hukum sebagaimana halnya janin yang sudah berumur empat bulan.[22] Ketika Hashkafi di tanya: “Apakah pengguguran kandungan dibolehkan?”, ia menjawab: “Ya, sepanjang belum terjadinya penciiptaan, dan itu (penciptaan) hanya terjadi sesudah 120 hari kehamilan.” Inilah yang dijadikan alasan oleh sebagian besar madzhab Hanafi dalam menyikapi aborsi;

b)        Madzhab Maliki, madzhab ini melarang aborsi bahkan melarang dikeluarkannya sperma yang telah bertemu dengan ovum walaupun masanya kurang dari empat puluh hari.[23] Alasannya, suatu kehidupan sudah dimulai sejak pembuahan terjadi.[24]

c)        Madzhab Syafi’iyah, dalam madzhab ini terdapat beragam pendapat dari para ulamanya. Pertama, Imam Ramli pendapatnya sama dengan madzhab Hanafi (boleh aborsi sebelum usia 120 hari). Kedua, Imam Abu Hamid Al-Ghazali mengharamkan aborsi seperti halnya Imam Malik, yakni mengharamkan aborsi sejak terjadi pembuahan. Pengeluaran air mani di dalam rahim dan penyatuannya dengan sel telur (ovum), menurutnya merupakan tahap pertama kehidupan manusia. Karena itu, melenyapkannya merupakan satu pelanggaran pidana (jinayah). Dosa atas upaya pelenyapan kandungan kandungan menjadi semakin besar secara gradual pada masa-masa sesudahnya. Dengan kata lain, semakin dekat dengan saat pemberian nyawa, semakin besar pula dosa pengguguran kandungan itu. Argumen yang dikemukakan Al-Ghazali sangatlah menarik, pelenyapan nuthfah yang telah bertemu telur (ovum), dianalogikan oleh Al-Ghazali dengan sebuah akad atau perjanjian yang sudah disepakati. Transaksi seperti ini tidak boleh dibatalkan, pembatalan berarti pelanggaran. Kasus ini menurutnya tidak dapat disamakan dengan ‘azl, coitus interuptus.[25] Pendapat ketiga, Ibnu Hajar membolehkannya selagi belum berusia 40 hari sejak pembuahan.[26] Keempat, Abu Bakar bin Abi Sa’id al-Furati, menurut  Al-Karabisi menyetujui aborsi sepanjang kandungan masih berupa nuthfah (air mani) atau alaqah (gumpalan darah).[27]

d)       Madzhab Hanbali, mereka menilai mubah (boleh) menggugurkan kandungan sebelum berlalu empat puluh hari, selama itu dilakukan dengan obat yang dapat dibenarkan.[28]

e)        Madzhab Zhahiri, yang dikemukakan oleh Imam Ibn Hazm dalam kitabnya Al-Muhalla mengemukakan bahwa aborsi dilarang sejak bertemunya sperma dan ovum. Sejumlah ahli fiqh Syi’ah Imamiyah dan Abadhiyah pun sependapat dengan pandangan ini.[29]

3)        Inseminasi Buatan

Kata ‘inseminasi’ berasal dari bahasa Inggris yakni insemination yang artinya pembuahan atau penghamilan secara teknologi, bukan secara alamiah. Ada juga yang berpendapat bahwa kata ‘inseminasi’ berasal dari bahasa Latin yaitu inseminatus yang berarti pemasukan atau penyampaian.[30] Sedangkan dalam istilah Arab, kata ‘inseminasi’ disebut dengan istilah at-talqih yang berasal dari kata kerja laqqaha-yulaqqihu-talqihan yang berarti mengawinkan atau mempertemukan (memadukan).[31]

Kata talqih yang sama pengertiannya dengan inseminasi diambil oleh dokter kandungan bangsa Arab, dalam upaya pembuahan terhadap wanita yang menginginkan kehamilan, padahal istilah talqih ini berasal dari petani kurma yang pekerjaannya menburkan serbuk bunga jantan terhadap bunga betina, agar pohon kurmanya dapat berbuah.[32]

Mahmud Syaltut menyebut inseminasi buatan dengan at-talqih al-sina’i sering juga disebut dengan artificial insemination, dimana artificial berarti buatan atau tiruan.

Hukum inseminasi buatan dan bayi tabung adalah tergantung pada jenisnya, jika sperma dan ovum itu berasal dari pasangan suami istri yang sah diperbolehkan.[33] Hal tersebut dikenal dengan inseminasi homolog atau Artificial Insemination Husband (AIH), kehalalan ini disebabkan inseminasi buatan dan bayi tabung itu dilakukan karena suami istri mengalami gangguan kelamin atau penyakit yang menyebabkan adanya kesukaran dalam memperoleh keturunan. Maka, bayi tabung dianggap sebagai jalan darurah. Sesuai dengan sabda Nabi saw:

لَاضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ

Artinya: Tidak boleh membahayakan (mencelakai, memudlaratkan) diri sendiri dan orang lain. (HR. Ibnu Majah)[34]

Akan tetapi jika inseminasi buatan dan bayi tabung itu berasal dari sperma donor atau disimpan dalam rahim ibu pengganti yang sama sekali tidak memiliki keterikatan akad nikah maka disebut inseminasi heterolog atau Artificial Insemination Donor (AID), maka menurut Syaltut hukumnya haram seperti yang banyak dilakukan oleh orang pada saat ini, kecuali pada hewan dan tumbuhan.[35]

Beliau juga berpendapat bahwa inseminasi buatan dan bayi tabung (yang sperma/ ovum atau pembuahannya di rahim donor) termasuk jarimah atau tindak pidana yang lebih keji dari adopsi karena anak adopsi dapat diketahui bahwa dia anak orang lain tetapi tidak berasal dari sperma/ovum/rahim orang lain (donor) melainkan dari suami istri yang sah. Dia mengetahui bahwa anak tersebut tidak memiliki hubungan nasab dengannya tetapi ia menyembunyikannya agar anak itu tidak merasa asing. Dia menjadikan anak itu sebagai bagian dari keluarganya padahal itu adalah sedusta-dustanya perkataan dan bagi anak itu berlaku hukum-hukum terhadap anak-anaknya yang lain (tidak sebagai muhrim dan tidak saling mewarisi).[36]

Mahmud Syaltut juga menyamakan perbuatan ini dengan zina, anak yang dihasilkan sama dengan anak zina. Keharaman ini didasarkan pada hadits Rasulullah saw yaitu:

... عَنْ رُوَيْفِغِ بْنِ ثَابِتٍ الْأَنْصَارِيِّ قَالَ قَامَ فِيْنَا خَطِيْبًا قَالَ أَمَا إِنِّىِ لَا أَقُوْلُ لَكُمْ إِلَّا مَا سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللَّهِ صَلَّ اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ يَوْمَ حُنَيْنٍ قَالَ لَا يَحِلُّ لِإِ مْرِئٍ يُؤْمِنُ بِا اللَّهِ وَالْيَوْمِ الْاَخِرِ أَنْ يَسْقِيَ مَاءَهُ زَرْعَ غَيْرِهِ...

Artinya: ....Tidak halal bagi seorang yang beriman pada Allah Swt dan hari akhir menyiramkan spermanya ke dalam orang lain... (HR. Abu Daud)[37]

 Azmi Ro'yal Aeni



[1] Alfauzi, “Keluarga Berencana Perspektif Islam dalam Bingkai Ke-Indonesiaan, dalam jurnal Lentera, Vol. 3, No. 1, 1 Maret 2017, 3.

[2]  Alfauzi, “Keluarga Berencana Perspektif Islam dalam Bingkai Ke-Indonesiaan, 3.

[3] Mahmud Syaltut, Alfatawa, (Mesir: Dar al-Qalam, t.th.t), 294-297.

[4] QS. Ar-Rahman [55]: 7-9 dan QS. Al-Mulk [67]:3

وَااسَّمَاءَ رَفَعَهَا وَوَضَعَ الْمِيْزَانَ . أَلَا تَطْغَوْ فِى الْمِيْزَانِ . وَأَقِيْمُوْ الْوَزْنَ بِالْقِسْطِ وَلَا تُخْسِرُ الْمِيْزَانَ

Artinya: Dan Allah telah meninggikan langit dan Dia meletakkan neraca (keadilan). Supaya kamu jangan melampaui batas tentang neraca itu. Dan tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi neraca itu. (QS. Ar-Rahman [55]: 7-9)

اَلَّذِيْ خَلَقَ سَبْعَ سَمَوَتٍ طِبَاقًا مَا تَرَى فِى الْخَلْقِ الرَّحْمَنِ مِنْ تَفَوُتٍ فَارْجِعِ الْبَصَرَ هَلْ تَرَى مِنْ فُطُوْرٍ

Artinya: Yang telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis. Kamu sesekali tidak melihat pada ciptaan Tuhan Yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang. Maka lihatlah berulang-ulang , adakah kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang? (QS. Al-Mulk [76]: 3)

[5]  M. Quraish Shihab, Perempuan, (Tanggerang: Lentera Hati, 2014), cet IX, 244-245.

[6] Abu Husain Muslim bin Al-Hajjaj bin Muslim bin Kausyaz, Musnad Ahmad, “Bab Musnad Anas bin Malik ra”, juz 27, nomor 13080 (dalam software maktabah syamilah)

[7] Hal ini sesuai dengan QS. Al-Baqarah [2]: 249

... قَالَ الَّذِيْنَ يَظُنُّوْنَ اَنَّهُمْ مُّلَقُّوْ اللّهِ كَمْ مِّنْ فِئَةٍ قَلِيْلَةٍ غَلَبَتْ فِئَةً كَثِيْرَةً بِإِذْنِ اللّهِ....

Artinya: ....Orang-orang yang meyakini bahwa  mereka akan menemui Allah, berkata: “Berapa banyak terjadi golongan yang sedikit dapat mengalahkan golongan yang banyak dengan izin Allah”....

[8] Yakni jima’ terputus, yaitu melakukan ejakulasi (inzal al-mani) di luar vagina (faraj) sehingga sperma tidak bertemu dengan indung telur istri. Dengan demikian tidak mungkin terjadi kehamilan karena indung telur tidak dibuahi oleh sperma suami.

[9] Shihab, Perempuan,  246.

[10] Imam Muslim, Shahih Muslim, (Beirut: Dar Jil, t.th.), Juz 4, 160. Lihat juga Imam Bukhari, Shahih Bukhari, (t.t: Dar Tuq al-Najah, t.th), juz 13, 171.

[11] Ibn Majah, Sunan Ibn Majah, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th), Juz 1, 620. Lihat juga Imam Muslim, Shahih Muslim, Juz 4. 160. Imam Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad bin Hanbal,  (t.t: Jam’iyah al-Islami, 2010), Juz 5, 1752.

[12]  Alfauzi, “Keluarga Berencana Perspektif Islam dalam Bingkai Ke-Indonesiaan”, 11.

[13] AS. Harley, AP Cowie, Ac Ginson Oxford Advenced Teories Dictionary of Corent English, (New York: Toronto Oxford University, 1987), 2.

[14] Fakultas Kedokteran UNPAD, Obsetri Patologi, (Bandung: UNPAD, Elstrar, 1984), 7. 

[15] Louis Makiuf, al-Munjid fi al-Lughah wa al-I’lan, cet. 21, (Bayrut: Dar al-Masyariq, 1973), 108.

[16] Dewani Romli, Aborsi dalam Perspektif Hukum Positif dan Hukum Islam (Suatu Kajian Komparatif), dalam jurnal Al-‘Adalah Vo. X, No. 2, 2 Juli 2011, 159

[17] Shihab, Perempuan, 258-259.

[18] Mas’udi, Islam dan Hak-Hak Reproduksi Perempuan (Dialog Fiqh Pemberdayaan), 153-154.

[19] Jad Al-Haq ali Jad Al-Haq, ahkam al-Syari’ah al-Islamiyah fi Masa’il Thibiyah an al-Amradh an Nisa’iyah wa Shihah Al-Injabiyah, (Cairo: Universitas Al-Azhar, 1997), 135.

[20] Muhammad, Islam Agama Ramah Perempuan (Pembelaan Kiai Pesantren), 273.

[21] Shihab, Perempuan, 259.

[22] Basim Musallam, Sex and Society in Islam, (New York: Cambridge University Press, 1983), 57-58.

[23] Shihab, Perempuan, 259.

[24] Mas’udi, Islam dan Hak-Hak Reproduksi Perempuan (Dialog Fiqh Pemberdayaan), 155.

[25] Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin Juz II, 51.

[26] Al-Ghazali, Ihya Ulumal-Din Juz II, 157.

[27] Muhammad, Islam Agama Ramah Perempuan (Pembelaan Kiai Pesantren), 279.

[28]  Shihab, Perempuan, 260.

[29] Muhammad, Islam Agama Ramah Perempuan (Pembelaan Kiai Pesantren., 280-281.

[30] M. Ali Hasan, Masail Fiqhiyah Haditsah, (Jakarta: Rajawali Press, 1995), 70.

[31] Mahjuddin, Masailul Fiqhiyyah, (Jakarta: Kalam Mulia, 2003), cet IV, 1.

[32] Muhammad Faisal Hamdani, ‘Hukum Inseminasi Buatan dan Bayi Tabung’, dalam jurnal Al-Ahkam Vol. 8, Nomor 1, Maret 2010, 108.

[33] Syaltut, al-Fatawa, 328.

[34] Jalal al-Din al-Suyuthi, Al-Jami’ al-Shagir, juz II, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, t.th.t), 585.

[35] Al-Suyuthi, Al-Jami’ al-Shagir Juz II , 328.

[36] Al-Suyuthi, Al-Jami’ al-Shagir Juz II., 328.

[37] Daud, Sunan Abi Daud, juz II,  248.


Posting Komentar untuk "Keluarga Berencana (KB), Aborsi, dan Inseminasi Buatan dalam Islam"