Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Hak Menikmati Hubungan Seksual bagi Perempuan

 


Dalam relasi pernikahan, salah satu kunci terjaganya keharmonisan hubungan pasangan suami istri adalah dengan terpenuhinya kebutuhan seksual, baik bagi laki-laki maupun perempuan. Dalam terminologi fiqh,  kata seks diistilahkan dengan sebutan jima’جماع atau wat’u الوطء yang berarti berhubungan seks.[1] Seks juga memiliki arti jenis kelamin, sesuatu yang dapat dilihat dan ditunjuk.[2] Pengertian seksual secara umum adalah sesuatu yang berkaitan dengan alat kelamin atau hal-hal yang berhubungan dengan perkara-perkara hubungan intim antara laki-laki dan perempuan.[3]

Namun, dalam kehidupan sehari-hari definisi seks terutama bagi masyarakat awam masih didefinisikan sebagai aktivitas biologis yang berhubungan dengan alat kelamin saja. Padahal, sejatinya makna seks tidak sebagai jenis kelamin dan berhubungan seksual saja tetapi meliputi keseluruhan kompleksitas emosi, perasaan, kepribadian, dan sikap seseorang yang berkaitan dengan perilaku serta orientasi seksualnya.[4] Hal diatas bisa dikategorikan sebagai definisi seks secara denotatif, namun secara dimensional seksualitas dapat dikategorikan lagi dalam dimensi biologis, psikologis, sosial, perilaku, klinis, dan kultural.[5]

Jika dari sisi dimensi bilogis, seksualitas berkaitan dengan bentuk anatomis organ seks hingga fungsi dan proses-proses biologis yang menyertainya, termasuk bagaimana menjaga kesehatan, memfungsikan dengan optimal secara biologis, sebagai alat reproduksi, alat rekreasi, dorongan seksual, fungsi seksual, dan kepuasan seksual. Dan jika dari sisi psikologis, seksualitas berhubungan erat dengan faktor psikis yaitu emosi, pandangan dan kepribadian yang berkolaborasi dengan faktor sosial. Dimensi sosial menyorot bagaimana seksualitas muncul dalam relasi antar manusia, bagaimana lingkungan berpengaruh dalam pembentukan pandangan mengenai seksualitas dan pada akhirnya pada perilaku seks seseorang.[6]

Dengan demikian, memahami seks berarti memahami manusia seutuhnya, bukan saja manusia sebagai pribadi tetapi memahami manusia sebagai masyarakat, kebudayaan, dan juga memahami bagaimana sebuah kekuasaan bekerja di masyarakat. Di kalangan masyarakat masih sangat tabu jika muncul pertanyaan, apakah seorang istri (perempuan) memiliki hak untuk meminta dan menikmati hubungan seksual/ orgasme bersama suami (lelaki) ataukah tidak? Ini artinya masih banyak keraguan tentang hak menikmati hubungan seksual bagi seorang istri, lebih luas lagi bagi perempuan. Namun hal ini tidak berlaku bagi suami atau laki-laki. Paradigma yang ada hanya melumrahkan laki-laki atau suami secara otomatis memiliki hak untuk meminta, dilayani, dan menikmati hubungan seksual dengan istrinya, sesuai dengan kehendak suaminya.

Kebanyakan orang beranggapan bahwa hubungan seksual selalu sarat dengan kenikmatan yang dirasakan kedua belah pihak baik bagi suami maupun istri.. Tetapi menurut Lucienne Lanson, berdasarkan hasil servei pada tahun 1980-an, perempuan yang melakukan hubungan seksual 22-75% biasanya selalu mengalami orgasme, 30-45% kadang-kadang atau jarang sekali, dan 5-22% tidak pernah sekalipun mengalami orgasme.[7] Wimpee Pangkahila melalui risetnya menyatakan jumlah perempuan Indonesia yang sudah menikah dan mengalami disfungsi seksual diperkirakan cukup banyak. Jika melihat data dari 4.135 perempuan yang berkonsultasi langsung, ternyata 2.0302 orang tidak pernah mencapai orgasme, dan 572 orang mencapai orgasme. Data ini menunjukkan lebih dari 50% perempuan mengalami kasus disfungsi seksual.[8]

Hak seksual adalah salah satu dari hak azasi manusia yang sangat penting dan pemenuhannya tidak dapat diabaikan sedikitpun. Setiap manusia tanpa membeda-bedakan dalam hal apapun, termasuk identitas seksual, gender, dan orientasi seksual berhak mendapatkan pemenuhan hak sesksualnya tanpa diskriminasi. Negara dan masyarakat berkewajiban membantu terpenuhinya hak seksual tersebut serta mempromosikan prinsip non-diskriminasi, non-kekerasan, dan kesetaraan bagi semua orang.[10]

Manusia di samping sebagai makhluk berakal, ia juga merupakan makhluk seksual. Seks adalah naluri yang inhern di dalam dirinya seperti juga dalam diri binatang. Dalam Islam, semua naluri kemanusiaan mendapatkan tempat yang berharga. Naluri seksual harus disalurkan dan tidak boleh dikekang. Pengekangan naluri ini akan menimbulkan dampak-dampak negatif bukan hanya terhadap tubuh, tetapi juga akal dan jiwa. Ibn al-Qayyim dalam Zaad al-Ma’ad mengatakan: "ketika air mani dibiarkan mengendap dan tak tersalurkan, maka dapat mengakibatkan munculnya sejumlah penyakit kejiwaan yang membahayakan bahkan orang bisa gila karena itu". Hal ini berlaku bukan hanya bagi laki-laki, tetapi juga bagi perempuan, karena perempuan juga diberi naluri seksual yang sama.[11] Maka dari itu pernikahan menjadi salah satu sarana penyaluran hasrat biologis baik bagi perempuan maupun laki-laki dan Islam sangat menghargai akan hasrat biologis tersebut dengan tidak membeda-bedakan antara satu jenis kelamin dengan jenis kelamin lain.

Menurut bahasa, nikah bermakna "berkumpul", sedangkan menurut istilah syariat definisi nikah memiliki arti yang beragam diantaranya dalam penjelasan Syekh Zakariya al-Anshari dalam kitab Fathul Wahab  menjelaskan bahwa:

كتاب النّكاح : هُوَ لُغَة الضَّمُّ وَالْوَطْءُ وَشَرْعًا عَقْدٌ يَتَضَمَّنُ اِبَاحَةَ وَطْءٍ بِلَفْظِ اِنْكَاحٍ

Artinya: Kitab Nikah. Nikah secara bahasa bermakna ‘berkumpul’ atau ‘bersetubuh’, dan secara syara’ bermakna akad yang menyimpan makna diperbolehkannya bersetubuh dengan menggunakan lafadz nikah atau sejenisnya.[12]

Dalam kamus Bahasa Indonesia kontemporer nikah dirumuskan sebagai perjanjian resmi antara pria dan wanita untuk membentuk sebuah keluarga. Meskipun dengan bahasa yang berbeda-beda tetapi ada kesepakatan majoritas ulama madzhab empat yang mendefinisikan nikah sebagai akad yang memberikan kepemilikan kepada laki-laki untuk memperoleh kesenangan dari tubuh seorang perempuan. Mereka sepakat bahwa pemilik kesenangan seksual adalah laki-laki.[13] Dalam fiqh, mayoritas ahli fiqh mendefinisikan nikah sebagai hak kepemilikan laki-laki atas tubuh perempuan untuk tujuan penikmatan seksual (milk istimta ar-rajul bi al-mar’ah).[14]

Bahkan dalam fiqh berkembang bahwa suami tidak berkewajiban melayani keinginan seksualitas istri. Berbeda dengan hasrat suami yang jika tidak dilayani oleh istri, maka sang istri akan dilaknat oleh malaikat. "Ketika suami mengajaknya berhubungan seksual, istri harus memenuhinya sekalipun ia sedang berada di dapur atau di punggung unta", demikian teks hadits yang diriwayatkan oleh at-Tirmidzi.[15]

Pendapat ini mempunyai implikasi serius terhadap hak seksual perempuan (istri). Jadi pada awalnya pernikahan dapat didefiniskan sebagai dua macam akad, yang pertama, pernikahan sebagai ‘aqd tamlik atau kontrak kepemilikan,[16] yang berarti bahwa dengan pernikahan seorang suami telah melakukan kontrak pembelian perangkat seks (budh’u) sebagai alat melanjutkan keturunan dari pihak perempuan yang dinikahinya. Dalam konsep pernikahan seperti ini pihak lelaki adalah pemilik sekaligus penguasa perangkat seks yang ada pada tubuh istri, sekaligus pemilik anak yang dihasilkannya. Oleh karena itu, kapan, dimana, dan bagaimana hubungan seks dilakukan, sepenuhnya tergantung pada pihak suami, dan istri tidak punya pilihan lain kecuali melayani.[17]Kedua, pernikahan sebagai ‘aqd ibahah (kontrak untuk membolehkan sesuatu, dalam hal ini alat seks yang semula dilarang).[18] Artinya, dengan perkawinan itu alat seks perempuan tetap merupakan milik perempuan yang dinikahi, hanya saja kini alat itu sudah menjadi halal untuk dinikmati oleh seseorang yang menjadi suaminya. Dengan definisi ini, kapan hubungan seks dilaksanakan, dengan cara bagaimana bukan semata-mata urusan satu pihak, yakni suami, melainkan urusan berdua suami-istri, baik waktu maupun caranya.[19]

Menurut pendapat terkuat madzhab Syafi’i, aliran fiqh yang banyak dianut masyarakat Indonesia, perempuan tidak berhak menuntut hak seksual, karena hak ini milik laki-laki. Hak seksual perempuan menjadi kewajiban atas laki-laki, hanya karena tuntutan moral belaka.[20] Pendapat ini pula dikategorikan sebagai pernikahan dalam segi ‘aqd tamlik. Madzhab Hanafi juga mengemukakan pandangan yang sama. Ia mengatakan bahwa hak penikmatan seksual adalah milik laki-laki bukan milik perempuan, karena itu laki-laki dapat memaksa perempuan (istri) untuk melayani kebutuhan seksualnya, tidak sebaliknya. Tetapi suami wajib melayani keinginan seks istrinya sebagai tuntutan moral (diyanatan), agar terjaga akhlaknya.[21]

Pendapat popular dari Madzhab Maliki menyatakan hal yang sama bahwa sasaran nikah adalah pemanfaatan tubuh perempuan bukan laki-laki. Akan tetapi, berbeda dengan madzhab Syafi’i, dalam pandangan madzhab Maliki laki-laki atau suami wajib melayani hasrat seksual istri jika penolakannya dapat menimbulkan bahaya bagi perempuan atau mengakibatkan penderitaannya. Namun terdapat pandangan yang lebih adil yaitu pandangan yang dikemukakan oleh sebagian ulama dalam madzhab Syafi’i, meskipun tidak populer dan tidak kuat (marjuh).[22] Pendapat ini dapat dikategorikan sebagai ‘aqd ibahah.

Dalam penjelasan-penjelasan fiqh klasik yang patriarkhis, ada beragam pendapat tentang hak perempuan untuk memperoleh layanan seksual dari suaminya. Ada yang mengatakan cukup sekali dalam empat hari, dengan asumsi seorang suami yang memiliki empat istri dan setiap istri berhak giliran satu malam. Ada yang mengatakan cukup satu bulan sekali, ada yang berpendapat empat bulan sekali, dan ada yang menyatakan bahwa istri hanya berhak menuntut satu kali saja layanan seksual dari suaminya selama perkawinan. Alasannya, layanan seksual dari suami itu tergantung hasrat seks darinya, tidak bisa dipaksakan. Apabila tidak berhasrat, laki-laki tidak mungkin melayani kebutuhan istrinya.[23]

Banyak yang menerima bahwa seks adalah tanggung jawab laki-laki. Laki-laki harus selalu mengambil inisiatif dalam melakukan hubungan seksual. Dalam berhubungan seksual dipersepsikan bahwa laki-laki adalah raja, sedangkan perempuan adalah pelayan yang pasif.[24] Sehingga menimbulkan kesan tidak adanya hak bagi perempuan untuk mengungkapkan keinginan seksual pada suaminya sendiri pun tidak ada keberanian.

Pembahasan diatas mengindikasikan bahwa budaya telah membentuk perempuan atau istri bertugas hanya menerima dan melayani kehendak dan hasrat suami dalam menjalankan relasi seksual. Lebih dari itu, doktrin agama Islam diyakini mengajarkan perempuan berkewajiban melayani kebutuhan seksual suami kapan dan di mana saja tanpa harus mempertimbangkan kesehatan dan kenyamanan diri sendiri. Ini adalah pemahaman teks keagamaan yang tidak berkeadilan juga mengarahkan kepada kedzaliman karena bertentangan dengan prinsip ajaran agama Islam itu sendiri.

Para ulama madzhab Ahmad bin Hanbal mengatakan bahwa batas maksimal seorang suami tidak memberikan nafkah seks kepada istrinya adalah empat bulan, jika tidak ada halangan yang serius minimal setiap empat bulan satu kali hubungan seks dengan istri harus dilakukan. Sementara menurut sebuah riwayat dari Umar bin Khattab batas maksimalnya adalah enam bulan, hal ini berdasarkan cerita nasib wanita-wanita yang ditinggal suaminya dinas di luar kota sebagai tentara. Lalu khalifah pun melakukan jajak pendapat diantara mereka, termasuk puterinya sendiri Siti Hafsah yang menghasilkan pendapat bahwa batas maksimal penangguhan nafkah seks yang diberikan suami kepada istrinya adalah enam bulan. Oleh karena itu, para tentara pun diberi tugas maksimal selama enam bulan.[25]

Suami (lelaki) secara fisik-anatomis tidak bisa begitu saja dipaksa untuk berhubungan seksual oleh istri; jika alatnya memang benar-benar belum siap bekerja. Disinilah menang atau curangnya lelaki, ia bisa memaksa tetapi tidak bisa dipaksa. Istri bisa saja dipaksa berhubungan seksual oleh suaminya tetapi belum tentu ia menikmati hubungan seksualnya itu.

Mauhyiddin Muhammad Abdul Hamid mengilustrasikan perlindungan bagi istri untuk sebisa mungkin menikmati hubungan seksualnya dengan argumentasi para ulama madzhab memandang ‘azl (coitus interruptus); yakni menarik dzakar (penis) keluar dari farji (vagina) pada saat-saat akan keluar mani. Tiga dari empat madzhab terkemuka, yaitu Imam Hanafi, Maliki, dan Hanbali sependapat bahwa ‘azl tidak boleh dilakukan begitu saja oleh suami tanpa seizin istri, dengan alasan dapat merusak kenikmatan istri. Sesuai dengan hadits:[26]

عَنْ اِبْنِ عُمَر قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللّهِ صَلَّ اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: نهَى رَسُول اللّهِ اَنْ يَعْزِلَ عَنِ الْمَرْأَةِ اِلاَّ بِاِذْنِهَا 

Artinya: Rasulullah melarang seorang melakukan ‘azl tanpa seizin istrinya (HR Imam Ahmad dan Ibn Majah)

Sejalan dengan prinsip melindungi hak istri untuk menikmati hubungan seksnya, maka hadits lain mengatakan:

اِذَا جَمَعَ اَحَدُ كُمْ اَهْلَهُ فَلْيُصَدِّ قْهَا فَاِذَا قَضَى حَاجَتَهُ قَبْلَ انْ تَقْضِيَ حَاجَتَهَا فَلَا يَعْجَلْهَا حَتَّى اِنْقَضَ حَاجَتَهَا

Artinya: Jika seorang (suami) di antara kalian bersetubuh dengan istrinya maka hendaklah ia melakukannya dengan sungguh-sungguh. Bila ia sudah lebih dahulu mencapai orgasme sebelum istri merasakannya, hendaklah ia tidak terburu-buru (mengeluarkan zakarnya) sampai istri terpenuhi hajatnya, memperoleh orgasmenya.

Hal ini sedikit banyak menunjukkan bahwa istri berhak menikmati hubungan seksual, tidak ada perbedaan yang mengindikasikan bahwa salah satu dari suami atau istri lebih superior.



Azmi Ro'yal Aeni



[1] Abu Bakr ibn Muhammad al-Husayni, Kifayah al-Akhyar, Juz I, (Surabaya: al-Hidayah, 2007), 69.

[2] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1988), 890.

[3] Zainun Mu’tadin, "Pendidikan Seksual Remaja", diakases dari http://www.w-psikologi.com/remaja/100702.html pada Jum’at, 14 Februari 2020.

[4] Umi Khusnul Khatimah, Hubungan Seksual Suami-Istri dalam Perspektif Gender dan Hukum Islam, dalam jurnal Ahkam, Vo. XIII, No. 2 Juli 2013, 236.

[5] Made Oka Negara, "Mengurai Persoalan Kehidupan Seksual dan Reproduksi Perempuan",dalam jurnal Perempuan untuk Pencerahan dan Kesetaraan, edisi 41, dengan tema utama Seksualitas, (Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan, Mei 2005), 8.

[6] Ummi Husnul Khatimah, Op. Cit., 236

[7] Lucienne Lanson, Dari Wanita untuk Wanita, (Surabaya: Usaha Nasional, 1987), 316.

[8]  Wimpee Pangkahila, "Disfungsi Seksual Perempuan di Indonesia",Kompas (Jakarta, 25 Juli 2001), 4.

[9] Untung Praptohardjo, Sekitar Masalah Aborsi di Indonesia,(Semarang: PKBI Jawa Tengah, 2007), 44-45

[10] Husein Muhammad, dkk.Fiqh Seksualitas (Risalah Islam untuk Pemenuhan Hak-Hak Seksualitas), (Jakarta: PKBI A Member Association of IPPF (International Planned Parenthood Federation), 2006), 1.

[11] Husein Muhammad, Islam Agama Ramah Perempuan (Pembelaan Kiai Pesantren), (Yogyakarta: LkiS, 2002), 263

[12] Syekh Zakariya al-Anshari, Fathul Wahab, (Beirut: Darul Fikr, 1994), Juz II, 38.

[13] Abd al-Rahman al-Jaziri, al-Fiqh ‘ala Mazahib al-Arba’ah, (Kudus: Menara Kudus, 2008), Juz IV, 2.

[14]Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islamiy wa Adillatuhu, Cet IV, (Damaskus: Dar al-Fikr al-Mu’ashir, 2004), 651.

[15]Imam at-Tirmidzi, Sunan at-Tirmidzi, Nomor Hadis 1160, Jilid III, 465.

[16] Husein Muhammad, Pandangan Islam tentang Seksualitas, dikutip dari Abdurrahman al-Jaziri, al-Fiqh ‘ala Mazahib al-Arba’ah, (Dar al-Da’wah: Istanbul, 1993), Vol. IV, 1-3.

[17] Masdar F. Mas’udi, Islam dan Hak-Hak Reproduksi Perempuan (Dialog Fiqh Pemberdayaan), (Bandung: Mizan, 2000), 117-118.

[18]Husein Muhammad, Op.Cit., 1-3

[19]Masdar F. Mas’udi, Op.Cit., 118

[20] Husein Muhammad, Islam Agama Ramah Perempuan (Pembelaan Kiai Pesantren), (Yogyakarta: LkiS, 2002), 264-265, dikutip dari Abdurrahman al-Jaziri, al-Fiqh ‘ala Mazahib al-Arba’ah, (Dar al-Da’wah: Istanbul, 1993), Vol. IV, 2.

[21]Ibid., 265.

[22]Ibid., 266.

[23]  Husein Muhammad, dkk. Fiqh Seksualitas (Risalah Islam untuk Pemenuhan Hak-Hak Seksualitas), (Jakarta: PKBI A Member Association of IPPF (International Planned Parenthood Federation), 2006), 73.

[24]Roosna Hanawi, dkk., Sketsa Kesehatan Reproduksi Perempuan Desa, Seri Kesehatan Reproduksi dan Petani, (Jakarta: Yayasan Pengembangan Pedesaan bekerja sama dengan The FordFoundatin, 2000), 60.

[25] Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islamiy wa Adillatuhu, Cet IV, (Damaskus: Dar al-Fikr al-Mu’ashir, 2004), 330.

[26]  Muhyiddin Muhammad Abdul Hamid, Rahmah al-Ummah fi al-Ikhtilaf al-Aimmah, (Kuala Lumpur: Al-Maktabaah Al-Islamiyah, t.t.,), 217.


Posting Komentar untuk "Hak Menikmati Hubungan Seksual bagi Perempuan "