Hak Menentukan Pernikahan bagi Perempuan (Hak Ijbar)
Menentukan pernikahan secara mandiri bagi perempuan
dewasa ini sudah bukan lagi hal yang tabu. Di era modern, pada umumnya perempuan
dapat memilih siapa saja yang akan menjadi pendamping hidupnya, bahkan seorang
perempuan dapat memilih untuk tidak memiliki pasangan hidup di sepanjang
hidupnya. Hal ini tentu berbanding tebalik dengan hak menentukan pernikahan di
era dahulu yang sangat rentan dengan campur tangan beberapa pihak terutama
keluarga.
Dalam hukum Islam, menentukan pernikahan bagi seorang
perempuan tidak serta merta bebas tanpa aturan. Mu’asyarah bil ma’ruf atau berembuk dengan baik dalam menentukan
suatu hal adalah pilar kokohnya membina suatu keluarga. Faktanya, dalam Islam seorang
perempuan memerlukan wali agar dapat melangsungkan pernikahan. Bahkan tanpa
adanya wali, pernikahan pun dianggap tidak sah. Secara etimologi, kata “wali”
berasal dari kata “al-waaliy” dengan
bentuk jamak yaitu “auliyaa” yang
berarti pecinta, saudara atau penolong. Secara terminologi, kata wali memiliki
arti orang yang menurut hukum (agama, adat) diserahi untuk mengurus kewajiban
anak yatim sebelum anak yatim tersebut dewasa, pihak yang mewakilkan pengantin
perempuan pada waktu menikah (yang melakukan akad nikah dengan pengantin pria).
Seorang wali nikah memiliki hak untuk menentukan
dengan siapa seorang perempuan menikah. Namun dalam pandangan Imam Abu Hanifah,
seorang wali tetap harus menunggu persetujuan anak perempuannya meskipun ia
memilki hak menikahkan anak perempuan tersebut tanpa harus meminta
persetujuannya, hanya dikecualikan jika anak perempuan tersebut masih kecil.
Imam Hanafi pun menganjurkan agar seorang perempuan tersebut mendapatkan
pasangan yang sesuai menurut kafa’ah[1]-nya.
Maka jelaslah menurutnya seorang perempuan dewasa dapat menikahkan dirinya
sendiri meskipun tanpa adanya wali nikah.
Berbeda lagi dengan pendapat Imam Malik, Syafi’i, dan
Hanbali (jumhur ulama) yang cenderung ketat dalam persoalan wali nikah. Menurutnya,
perempuan tidak bisa menikah tanpa adanya wali, wali nikah sangat berhak untuk
menentukan dengan siapa perempuan tersebut menikah tanpa harus ada persetujuan
dari pihak perempuan. Namun dikecualikan bagi perempuan yang berstatus janda, karena
ia dianggap sebagai perempuan dewasa yang lebih berhak terhadap dirinya sendiri
dan telah berpengalaman dalam menentukan jalan hidupnya.
Pendapat
hak ijbar ini terutama dikeluarkan oleh Imam Syafi’i, beliau memang
berpendapat bahwa wali boleh melakukan ijbar terhadap anak gadisnya.
Tetapi hal itu disebabkan saking pedulinya terhadap masa depan anaknya. Oleh
sebab itu, ijbar yang dimaksudkan oleh Imam Syafi’i pun jangan
sekali-kali diartikan pemaksaan semaunya secara sewenang-wenang.[2]
Hak menentukan pernikahan atau hak ijbar ini dapat menuai beragam
perdebatan, terutama antara pendapat para imam madzhab dan pemikir Islam
kontemporer. Asghar Ali Engineer dan Riffat Hasan mengemukakan bahwa akad
merupakan suatu transaksi maka syarat-syarat subyek hukumnya haruslah
terpenuhi. Perlu adanya proses persetujuan,, pengenalan, dan saling ridla antar kedua pihak sebelum akad
nikah berlangsung.
Sebagai
contoh dalam penelitiannya, para pakar memperkirakan bahwa setiap tahun korban
nikah paksa di Inggris berkisar antara 5.000 sampai 8.000 orang. Dimana
sebagian besar perempuan yang menikah dalam kisaran usia dibawah 21 tahun dan
sebagian besar berusia di bawah 15 tahun. Sebagian keluarga korban berasal dari
Pakistan, Bangladesh, dan India. Tetapi terdapat pula kasus yang dilaporkan
terjadi pada komunitas Afrika, Amerika Latin, dan juga Eropa Timur.[3]
Pada
dasarnya kebebasan perempuan dalam memilih suami dalam hukum Islam telah
dijamin oleh syara’, Abd al-Halim Muhammad Abu Suqqah dalam tahrir al-Mar’ah
fi ‘Asr al-Risalah menyebutkan diantara riwayat hadis hak perempuan dalam
memilih suaminya:[4]
حَدَّثَنَا
عَلِيُّ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ حَدَّثَنَا يَحْيَ بْنُ
سَعِيْدٍ عَنِ الْقَاسِمِ أَنَّ امْرَأَةً مِنْ وَلَدِ جَعْفَرٍ تَخَوَّفَتْ أَنْ يَزَوِّجَهَا وَلِيُّهَا وَهِيَ كَارِهَةٌ فَأَرْسَلَتْ
إِلَى شَيْخَيْنِ مِنَ الْاَنْصَارِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ وَمًجَمِّعِ ابْنَيْ
جَارِيَةَ قَالَ فَلَا تَخْشَيْنَ فَإِنَّ خَنْسَاءَ بِنْتَ خِذَامٍ أَنْكَحَهَا
أَبُوْهَا وَهِيَ كَارِهَةٌ فَرَدَّ النَّبِيُّ صَلَّ اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
ذَلِكَ
Artinya: ...
dari al-Qasim, bahwa seorang perempuan dari anak Ja’far merasa ketakutan
(waswas) walinya menikahkannya sedangkan dia tidak suka, maka ia segera
mengutus seseorang menemui dua syaikh dari kalangan Anshar, Abd al-Rahman dan
Mujammi’, dua anak jariyah. Maka keduanya berkata: “Janganlah khawatir, karena
Khansa binti Khidham pernah dinikahkan
ayahnya sedang dia tidak suka,
maka Nabi saw. Menolak pernikahnnya. (HR. Bukhari)[5]
Dalam
hadits kedua yang diriwayatkan Imam Bukhari yang redaksinya adalah:
حَدَّثَنَا
إِسْمَاعِيْلُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ : حَدَّ ثَنِي مَالِكٌ عَنْ رَبِيْعَةَ
بْنِ أَبِيْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنِ الْقَاسِمِ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنْ عَائِشَةَ
رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّ اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
قَالَتْ كَانَ بَرِيْرَةَ ثَلَاثُ سُنَنٍ إِحْدَ السُّنَنِ أَنَّهَا أُعْتِقَتْ
فَخُيِّرَتْ فِي زَوْجِهَا
Artinya: Telah
menceritakan kepada kami Ismail bin Abdullah ia berkata: telah menceritakan
kepadaku Malik dari Rabi’ah bin Abi Abd ar-Rahman dari al-Qasim bin Muhammad
dari Aisyah, istri Nabi ia berkata: Sesungguhnya pada diri Barri’ah terdapat
tiga sunnah, salah satunya ia telah dimerdekakan dan diberi tawaran untuk
memilih terhadap suaminya.[6]
Dalam hadits lain pun disebutkan:
حَدَّثَنَا
عَثْمَانُ بْنُ أَبِيْ شَيْبَةَ حَدَّثَنَا حَسَيْنُ بْنُ مُحَمَّدٍ حَدَّثَنَا
جَرِيْرُ بْنُ حَازِمٍ عَنْ أَيُّوْبَ عَنْ عِكْرْمَةَ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ
جَارِيَةً بِكْرًا أَتَتِ النَّبِيَّ صَلَّ اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَذَكَرَتْ
أَنَّ أَبَاهَا زَوَّجَهَا وَهِيَ كَارِهَةٌ فَخَيَّرَهَا النَّبِيَّ صَلَّ
اللَّهً عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Artinya; ...
Dari Ibn Abbas, bahwa seorang perawan datang kepada Nabi Saw, dan menyebutkan
bahwa bapaknya telah menikahkannya sementara ia tidak senang. Kemudian Nabi
memberikan khiyar (pilihan untuk meneruskan pernikahan atau
membatalkannya) kepadanya. (HR. Abu Dawud).[7]
Ragam pendapat tentang
hak ijbar ini memang tidak akan
pernah habis, pendapat para ulama jumhur, pemikir islam kontemporer, bahkan
dalam undang-undang sekalipun telah membahasnya secara luas. Pada akhirya, kita
dapat menentukan bagaimana seyogianya hak menentukan pernikahan bagi perempuan
dapat berlangsung tanpa harus membatasi terlebih mengorbankan kebebasan seorang
perempuan dalam menentukan jalan hidupnya. Bukankah musyawarah adalah pilar
utama dalam keluarga, dan sebaik-baiknya pernikahan adalah pernikahan yang
dijalani oleh dua insan yang saling mencintai dan saling ridha (taraadlin) terhadap apa yang mereka
jalani.
Azmi Ro'yal Aeni
[1] Kafa’ah artinya sekufu,
setaraf, seimbang baik dari segi agama, harta, dan kedudukannya.
[2] Muhammad
al-Syarbani, Al-Iqna’, (Surabaya: Dar al-Ihya al-Kutub al-Arabiyah,
t.th), Vol. II, 1668.
[3] Diakases dari
BBC News Indonesia,
http://www.bbc.co.uk/indonesia/dunia/2012/06/120608_forces_marriages.html ,
Mingu, 15 Maret 2020 pukul 15:24.
[4] ‘Abd al-Halim
Muhammad Abu Shuqqah, Tahrir al-Mar’ah fi ‘Asr al-Risalah, Vol. 1
(Kuwait: Dar al-Qalam, 1999), 173-174.
[5] Bukhari, al-Jami’
al-Shahih, Vol. 9, (Kairo: Dar al-Sha’b, 1987), 32-33.
[6] Bukhari, al-Jami’
al-Shahih, Vol. 7, (Kairo: Dar al-Sha’b, 1987), 61.
[7] Abu Dawud
al-Sijistani, Sunan Abi Dawud, Vol. 2, (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi,
t.th), 195.
Posting Komentar untuk "Hak Menentukan Pernikahan bagi Perempuan (Hak Ijbar)"