Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Tingkatan Kebahagiaan menurut Ibnu Miskawaih



 Ibnu Miskawaih merupakan seorang pemikir besar yang berfokus pada pembahasan akhlak (etika Islam). Dilahirkan di Iran pada tahun 330 H/932 M dan meninggal pada tahun 421 H/1030 M. Ibnu Miskawaih mengarang beberapa kitab yang berisi pembahasan tetang akhlak yakni Tadhib Al-Akhlak, Al-Fawaz A-Ashghar dan Tajarib Al-Umam. 

Dalam hal kebahagiaan manusia, Ibnu Miskwaih menulis sebuah kitab yang berjudul Tartib Al-Sa'adah. Sebagaimana dikutip dari buku Panorama Filsafat Islam karya Mulyadhi Kartanegara, kebahagian manusia terbagi menjadi lima tingkatan, yakni:

Jenjang Pertama, kebahagiaan fisik atau sensual. Kehagiaan ini merupakan kebahagiaan tingkat dasar dan biasa dikenal dengan istilah kesenangan. Yang dimasukkan dalam ketegori kebahagiaan fisik adalah makan, minum, tidur, pakaian, harta, rumah, dan hal-hal lain yang menjadi kebutuhan dasar manusia. Aristoteles berkata bahwa tanpa terpenuhinya kebutuhan dasar manusia, maka tidak bisa terbayangkan terjadinya kebahagiaan lainnya. kebahagiaan fisik berifat manusiawi, karena setiap manusia pasti membutuhkan makan, minum, harta dan hal-hal pokok lainnya. 

Lebih lanjut, Mulyadhi Kertanegara mengingatkan bahwa kebahagiaan fisik dapat menjerusmuskan manusia kepada kelalaian (ghaflah). Bahwa menurutnya, harta semata tidak bisa menjamin kebahagiaan seseorang. Kekayaan jika tidak disikapi dengan bijak akan membuat kita tengelam dalam asyiknya kehidupan dunia dan melupakan tugas kita sebagai khalifah Allah di muka bumi. Selain itu, kesenangan dunia hanya bersifat sementara. Misalnya, kesenangan makan. Menurut para filosof, kenikmatan makan sangat tergantung pada rasa lapar yang dimiliki manusia. Jika lapar itu muncul pada seseorang, maka makanan akan dapat memberikan kesenangan, tapi jika lapar itu sudah hilang, maka makanan tidak lagi mendatangkan kesenangan, seberapa nikmat dan lezatnya makanan tersebut jika perut sudah merasa kenyang kenikmatannya sudah berkurang, apalagi jika tetap dipaksakan dikonsumsi, maka yang datang adalah penyakit.

Jenjang Kedua, kebahagiaan mental. Kebahagiaan ini sudah mulai masuk kepada hal-hal yang bersifat batiniyah. Kebahagiaan yang bersifat abstrak namun sangat terasa dan mempengaruhi manusia. Seperti kebahagiaan seseorang saat mendengarkan musik, melihat pemandangan indah, membaca novel, termasuk juga kebahagiaan imajiner, misalnya berkhayal tentang sebuah bangunan indah bagi seorang arsitek, berkhayal tentang lagu bagi penyanyi atau komposer, berkhayal tentang lukisan bagi pelukis, imajinasi demikian dapat mendatangkan kebahagiaan bagi penciptanya khususnya umumnya bagi penikmantanya. "bukankah kita sering mendengar seorang pelukis, komposer, atau pengarang lagu yang sedang bebrkarya sering lupa makan dan minnum? ini menunjukkan kebagaiaan mental tidak kalah nikmatnya bahkan bisa mengalahkan kebahagiaan fisik" tulis Mulyadhi Kertanegara.

Jenjang ketiga, kebahagiaan intelektual. kebahagiaan ini diperoleh manusia dari hasil memaksimalkan potensi akal yang ada dalam dirinya.  Al-Qura'an telah menyatakan adanya perbedaan antara orang yang berilmu dengan yang tidak memiliki ilmu. "Perbedaannya sepeti orang dapat melihat dengan orang yang buta". Betapa susahnya manusia jika tidak ada ilmu pengetahuan yang menuntunnya keaah yang lebih baik. Seperti sebuah cahaya, ilmu sangat bermanfaat untuk menerangi kehidupan. Sekecil apapun cahaya itu, ia akan tetap dicari oleh orang yang berada dalam kegelapan. Kebahagiaan intelektual tentu lebih langgeng daripada dua kebahagiaan sebelumnya. Imam Syafi'i yang telah wafat beratus tahun yang lalu, namanya tetap mengabadi sampai sekarang karena ilmu pengetahuan yang dimilikinya. 

Jenjang keempat, kebahagiaan moral. kebahagiaan ini merupakan kelanjutan dan penyempurna dari jenjang kebahagiaan sebelumnya. Al-Farabi pernah berkata bahwa kesempurnaan kebahagiaan tercapai apabila seeorang telah mampu menerapkan pengetahuan teoritisnya ke dalam praktik kehidupan sehari-hari. Dan kebahagiaan yang diperoleh dari mengamalkan ilmu inilah yang disebut dengan kebahagiaan moral. Dari sudut moral, orang baik adalah orang yang memiliki perilaku baik, bukan hanya orang yang mengetahui bahwa perilaku yang terpuji itu baik. 

Jenjang kebahagiaan terakhir adalah kebahagiaa spiritual. Jika ada orang yang bertanya "Kalau shalat bertujuan untuk mencegah perbuatan keji dan mungkar, apakah kita masih perlu shalat kalau kita telah memiliki moral yang baik?" jawabannya adalah orang tersebut tidak akan mencapai kebahagiaan tertinggi, yaitu kebahagiaan spiritual, yang meurut Ibnu Miskawaih hanya terjadi ketika seseorang telah berhasil mengadakan hubungan dengan yang ilahi. Oleh karena hubungan tersebut hanya bisa dicapai lewat ibadah, kebaikan moral saja tidak cukup membawa kita kepada kebahagiaan spiritual.

Mulyadi Kertanegara menutup pembahasan mengenai tingkatan kebahagiaan menurut Ibnu Miskawaih ini dengan kalimat "Tuhan adalah tempat kembali, kampung halaman kita yang sesungguhnya. Berada dekat atau mengadakan kontak denganNya merupakan tujuan terakhir dari setiap manusia. Apabila kebahagiaan tertinggi adalah kebahagiaan bersatu dengan Tuhan, kebahagiaan spiritual -yang diperoleh melalui persatuan atau kontak dengan yang ilahi- berarti merupakan kebahagiaan yang tertinggi, yang pernah Tuhan karuniakan kepada manusia.

[] Disarikan dari buku Menembus Batas Waktu: Panorama Filsafat Islam karya Mulyadhi Kertanegara

Posting Komentar untuk "Tingkatan Kebahagiaan menurut Ibnu Miskawaih"