Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Marhaban Yaa Ramadhan

Menjelang bulan suci, bom meledak lagi. Mengoyak hati nurani, mengancam negeri. Kampung Melayu lesu, Indonesia pilu. Inikah sambutan yang pantas bagi bulan yang diberkahi? Hancurlah akal sehat sang teroris diiming-imingi bidadari, atau demi mimpi miliki sekeping surga Tuhan nanti. Musnah sudah kemanusiaan, apalagi kasih sayang dan persaudaraan. Terorisme muncul kembali.

Radikalisme sedang naik daun. Akibatnya mungkin saja lahir terorisme. Momentum intoleransi menjadi pintu masuk virus yang menggerogoti ke-bhinneka tunggal ika-an bangsa. Sialnya, masih banyak masyarakat tak paham aksi-aksi intoleransi akhir-akhir ini tidak murni atas nama agama, tetapi atas dasar kepentingan politik. Namun sayang seribu sayang, sekali terjangkit, sulit badan untuk sembuh.  Memang menyembuhkan sakit mental orang yang merasa paling benar sendiri itu tak mudah. Tidak ada obat, juga pemerintah sepertinya belum punya vaksin kuat untuk menangkal penyebarannya. Ditambah, pemahaman toleransi, pluralisme, persatuan, persaudaraan, nasionalisme, dan kebangsaan terlanjur dipandang oleh mereka sebagai liberal, syi’ah, sesat, dan bid’ah.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kata marhaban diartikan sebagai ”kata seru untuk menyambut dan menghormati tamu (yang berarti selamat datang)”. Sama artinya dengan ahlan wa sahlan yang juga diartikan selamat datang. Walaupun mempunyai arti yang sama, tetapi penggunaan keduanya berbeda. Para ulama tidak menggunakan ahlan wa sahlan untuk menyambut bulan Ramadhan, melainkan marhaban ya Ramadhan. Marhaban terambil dari kata rahb yang berarti luas atau lapang. Sehingga marhaban menggambarkan bahwa tamu yang datang itu disambut dan diterima dengan dada lapang, penuh kegembiraan, serta dipersiapkan baginya ruang yang luas untuk melakukan apa saja yang diinginkannya. Dari akar kata yang sama dengan Ramadhan, terbentuk juga kata rahbat, yang antara lain berarti ”ruangan yang luas untuk memperoleh perbaikan”. Maka, marhaban ya Ramadhan mengandung arti bahwa kita menyambut bulan suci tersebut dengan lapang dada, penuh kegembiraan, tidak dengan menggerutu dan menganggap kehadirannya mengganggu kenyamanan (Lihat M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, Bandung: Mizan, 1996, h. 520).

Masihkah kita menyambut Ramadhan dengan lapang dada? Padahal telah nampak di hadapan kita aksi teror yang menghilangkan nyawa.

Mari sadari bersama bahwa terorisme adalah problem kemanusiaan. Apapun alasannya, aksi terorisme adalah noda hitam perusak keindahan. Oleh karena itu, ia merupakan musuh utama misi agama-agama. Tak ada satupun agama yang mengajarkan umatnya untuk menebar kerusuhan dan kekhawatiran. Jika masih ada yang membawa-bawa agama untuk menebar teror, dapat dipastikan itu bukanlah agama, melainkan paham keagamaan yang berasal dari nafsu egoisme yang menganggap selain dirinya semua kotor.

Al-Qur’an menyebut mereka yang tidak peka terhadap nasib anak yatim dan fakir miskin saja sebagai pendusta agama, apalagi pembuat kekacauan yang dampaknya lebih dari menelantarkan anak yatim dan fakir miskin. Maka, tak disebut orang beragama mereka yang membuat cemas masyarakat sebuah negara, oleh karenanya, mungkin saja para teroris itu atheis.

Ada sebuah semboyan sakti yang tertulis di sebuah prasasti di Kota Palu, Sulawesi Tengah, “Masintuvu Kita Maroso, Morambanga Kita Marisi” Bersatu Kita Kuat, Bersama Kita Kokoh. Semboyan ini, jika diamalkan, tentu dengan sedikit tambahan, sedikit banyak mampu meredam terorisme. Rasa persatuan dan kebersamaan inilah modal kita sebagai masyarakat untuk melakukan apapun, termasuk melawan terorisme. Tambahannya, semangat persatuan dan kebersamaan ini haruslah dilandasi dengan pemahaman nasionalisme. Dan nasionalisme inilah yang menjadi titik tolak keduanya. Tanpa nasionalisme, hancurlah keduanya dimanfaatkan kelompok berkepentingan.

Kenapa nasionalisme menjadi penting? Karena dengan kesadaran bersama sebagai bangsa indonesia, kesatuan dan kebersamaan tidak akan dapat dimanfaatkan demi kepentingan-kepentingan kelompok tertentu, partai tertentu, agama tertentu, suku tertentu, pulau tententu, atau pejabat tertentu saja. Kesatuan dan kebersamaan ini harus dijadikan modal untuk mencapai kepentingan yang satu, yaitu kepentingan bangsa indonesia seluruhnya.

Akhirnya, dengan penuh sesal, kami menyambutmu. Marhaban Ya Ramadhan, Selamat Datang Bulan Penuh Berkah, Bulan Penuh Ampunan. Maafkanlah kami Tuhan, kami yang telah menyambut bulanMu yang suci dengan tidak pantas. Darah-darah saudara setanah air kami, kami jadikan pemerah karpet kehormatan demi kedatangan ramadhanMu. Dentuman bom adalah sorak sorai nafsu kami membela kepentingan kami sendiri. Maafkanlah kami, maafkanlah.

Posting Komentar untuk "Marhaban Yaa Ramadhan"