Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Revolusi Sains dan Anomali Pendidikan

Beberapa waktu belakangan, dunia maya heboh dengan sebuah foto hasil ujian matematika seorang anak SD yang disalahkan oleh gurunya, tentang 4x6 dan 6x4 yang membuat profesor matematika dan profesor fisika berdebat. Namun yang jelas, pasti Sang Guru adalah orang yang lebih menghargai proses dari pada hasil.
Dan lebih jauh kebelakang, pada Tahun 1921, di Brasil bagian timur laut, tepatnya di kota Recife, lahir seorang anak yang kelak menjadi tokoh pendidikan, Paulo Freire. Seorang pemikir yang mengajukan fakta bahwa dalam pendidikanpun ternyata terjadi proses tindas-menindas. Pemikir yang memberitahukan kepada dunia bahwa dalam apa yang diajarkan serta dalam proses pengajaran terdapat sebuah kepentingan.
Jika saja Paulo Freire masih hidup dan melihat kasus “penyalahan” diatas, dia pasti menangis tersedu. Atau mungkin hatinya sakit. Betapa tidak, karena pendidikan versi Freire adalah pendidikan yang membebaskan. pendidikan yang memancing siapapun untuk berkata, berdialog, membiarkan mereka mengucapkan sendiri perkataannya, pendidikan yang mendorong siapapun untuk berani menamai dan dengan demikian menguasai dunia, Pendidikan yang tidak mengenal salah-benar.
Dia mendudukan guru dan murid sama-sama sebagai subjek ilmu pengetahuan, keduanya adalah orang-orang yang berhak menemukan, berhak bicara, berhak berbeda. Dia mengangkat derajat murid, bukan sebagai pendengar setia, pencatat rajin, atau penikmat doktrin, bukan juga si tertindas.  Dan dia membatasi guru, bukan sebagai satu-satunya probabilitas ilmu, penikmat ketertindasan murid. Namun keduanya adalah sama-sama pembentuk dan pencipta ilmu.
Dalam sebuah film yang menceritakan masa depan berjudul The Giver, Jonas adalah contoh murid yang semula tidak diberi kebebasan berekspresi, kebebasan berfikir, terkungkung dalam etika ketertiban dan logika keteraturan. Sampai suatu saat tiba waktunya bagi Jonas menerima takdirnya sebagai penerima memori dari Sang Pemberi (The Giver), Jonas diberi pengetahuan tentang rasa, tentang berfikir, tentang kritis, sampai kehidupannya berubah. Dia melawan otoritas penguasa yang telah menindas dirinya dan masyarakatnya dengan pengetahuan anti kritik. Namun dia malah diburu untuk dimusnahkan.
 Tapi, bukan cerita fiktif jika seorang yang berbeda pandangan dengan penguasa harus berakhir dengan diburu atau bahkan mati. Jonas masih beruntung karena kita tahu akhir film itu adalah bahagia. Tapi bagaimana dengan Socrates yang harus rela meminum racun demi mempertahankan kepercayaannya, juga Galileo Galilei yang harus di gantung karena percaya bahwa bumi itu bulat, berbeda dengan penguasa pada waktu itu yang memandang bumi adalah lempengan. Atau nasib tragis Giordano Bruno yang di bakar di tihang pancang di pasar bunga Roma pada tahun 1600 karena berkata “Tuhan hadir di alam ini”.
Pendidikan yang dibarengi dengan ancaman tidak akan mampu untuk memberikan kemajuan ilmu pengetahuan. Stagnasi dan pengulangan tanpa akhir dan taklid buta adalah konsekwensi dari hal yang semacam itu. Pendidikan seperti inilah yang di tentang oleh Freire.
Kita harus sadari bersama, bahwa anomali (sesuatu yang tidak normal, tidak seperti seharusnya) dalam pendidikan wajib adanya. Dan dari anomali ini, guru dan murid bersama-sama berdialog untuk menghasilkan sebuah cara pandang baru dalam menyelesaikan masalah. Begitulah seharusnya logika revolusi sains ala Thomas Kuhn bekerja.
Jika kita menyadari bahwa perbedaan adalah sunnatullah, ditambah sikap bijak terhadap perbedaan itu, maka perkembangan ilmu pengetahuan sudah tidak akan terbendung lagi.  Tinggal, bagaimana kita mengarahkan pesatnya kemajuan ilmu agar tidak malah merusak bagi manusia. Dan bagi kasus ujian anak SD itu, menurut penulis, Sang Guru tidak perlu sadis menyalahkan hasil, Toh nanti dia akan mengerti dengan sendirinya. Profesor saja dibuat berdebat oleh jawaban anak itu. seberapa pintar dia? wallahu ‘alam.. [] Maulana Ni’ma Ahizbi

Posting Komentar untuk "Revolusi Sains dan Anomali Pendidikan"