Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Mendapatkan Pasangan se-Kufu’ dalam Pernikahan

 



Memiliki kriteria terhadap calon pasangan hidup sudah pasti dimiliki oleh para perempuan maupun laki-laki yang belum menikah. Kriteria sering kali dijadikan sebagai tolak ukur dalam menentukan calon suami ataupun istri, baik melalui sikap, sifat, paras, agama, pendidikan, ekonomi, sosial, dan lain sebagainya. Setiap individu tentu memiliki latar belakang hidup yang berbeda-beda, jika seseorang menginginkan pasangan yang cukup serasi atau setaraf dan tidak terlampau jauh berbeda dengannya maka itu hal yang wajar. Hal ini dikarenakan agar tidak terjadi kesulitan dalam menjalin bahtera rumah tangga, tidak sulit dalam menjalin komunikasi dan tentunya tidak sulit dalam menentukan visi dan misi pernikahan.

Islam telah dengan baik mengatur tentang kesetaraan yang hendaknya dimiliki oleh pasangan suami istri melalui kafa’ah. Kafa’ah atau kufu’ secara etimologis artinya: setaraf, seimbang atau keserasian/kesesuaian. Kata ini merupakan kata yang terpakai dalam bahasa Arab dan terdapat dalam Al-Qur’an dengan arti ‘sama’ atau ‘setara’. Contoh dalam Al-Qur’an adalah dalam surah Al-Ikhlas ayat 4:

ولم يكن له كفوا احد

‘‘Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan-Nya’’

Adapun yang dimaksud dengan kafa’ah dalam perkawinan, menurut istilah hukum islam, yaitu keseimbangan dan keserasian antara calon istri dan suami sehingga masing-masing calon tidak merasa berat untuk melangsungkan perkawinan. Dapat dikatakan pula, laki-laki sebanding dengan calon istrinya, sama dalam kedudukan, sebanding dalam tingkat sosial dan sederajat dalam akhlak serta kekayaan. Jadi, tekanan dalam hal kafa’ah adalah keseimbangan, keharmonisan dan keserasian terutama dalam hal agama, yaitu akhlak dan ibadah. Sebab jika kafa’ah disamakan dalam hal harta, atau kebangsawanan maka akan berarti terbentuknya kasta, sedangkan dalam Islam tidak dibenarkan adanya hal tersebut, sejatinya manusia di sisi Allah swt adalah sama. Hanya ketakwaannyalah yang membedakannya.[1]

            Kafa’ah sendiri memiliki tujuan penting bagi kelangsungan hubungan calon suami istri  yakni agar terciptanya kebahagiaan suami istri dan lebih menjamin keselamatan perempuan dari kegagalan atau kegoncangan rumah tangga. Kafa’ah dianjurkan oleh Islam dalam memilih calon suami/istri, tetapi tidak menentukan sah atau tidaknya perkawinan. kafa’ah adalah hak bagi wanita atau walinya. Karena suatu perkawinan yang tidak seimbang, serasi/sesuai akan menimbulkan problema berkelanjutan, dan besar kemungkinan menyebabkan terjadinya perceraian. Oleh karena itu, boleh dibatalkan.[2]

            Namun, menurut Imam Zakaria al-Anshari dalam Fathul Wahab bi Syarhi Minhaj al-Thalab (Beirut: Dar al-Fikr, Juz II, Halaman 47) 

فَصْلٌ: فِي الْكَفَاءَةِ الْمُعْتَبَرَةِ فِي النِّكَاحِ لَا لِصِحَّتِهِ بَلْ لِأَنَّهَا حَقٌّ لِلْمَرْأَةِ وَالْوَلِيِّ فَلَهُمَا إسْقَاطُهَا


dinyatakan bahwa kafa'ah memang menjadi pertimbangan dalam nikah, namun bukan soal keabsahannya, hal tersebut merupakan hak calon istri dan wali, maka mereka berdua berhak menggugurkannya. Artinya, dengan kata lain jika calon suami tidak setara dengan kriteria wali dan calon istri maka mereka berhak membatalkannya, namun jika mereka menerima calon suami dengan kondisi yang lebih rendah derajatnya pun pernikahan tetap sah diberlangsungkan.

 

Landasan Hukum Kafa’ah

Persoalan kafa’ah diatur langsung dalam pasal 61 KHI (Kompilasi Hukum Islam) Bab X tentang Pencegahan Perkawinan, dalam pasal tersebut disebutkan bahwa tidak ada alasan untuk mencegah perkawinan kecuali mengenai soal agama. Adapun pasal 61 KHI tersebut berbunyi: Tidak se-kufu tidak dapat dijadikan alasan untuk mencegah perkawinan, kecuali tidak se-kufu karena perbedaan agama atau ikhtilaafu al-dien.[3]

Ada beberapa pandangan ulama mengenai Kafa’ah, diantaranya adalah pendapat Ibnu Hazim yang berpendapat tidak ada ukuran-ukuran kufu’. Beliau mengemukakan bahwa: semua orang Islam asal saja tidak berzina, berhak kawin dengan semua wanita Muslimah, asal tidak tergolong perempuan lacur. Dan semua orang Islam adalah bersaudara.

Tujuan disyariatkannya kafa’ah adalah untuk menghindari celaan yang terjadi apabila pernikahan dilangsungkan antara sepasang suami istri yang tidak sekufu (sederajat) dan juga demi kelanggengan kehidupan pernikahan. Dengan demikian hukum kafa’ah adalah dianjurkan, seperti dalam hadits Abu Hurairah yang dijadikan dasar kafa’ah , yaitu:

وعن ابي هريرة رضي الله عنه عن النبي صم قال : تنكح المراة لاربع: لمالها,ولحسبها, ولجمالها, ولدينها, فاظفر بذات الدين تربت يداك.(متفق عليه بقية السبعة)

‘’Wanita itu dikawini karena empat hal: karena hartanya, keturunannya, kecantikannya, dan agamanya, maka pilihlah yang beragama, semoga akan se;amatlah hidupmu.’’

Ukuran dan Hikmah Kafa’ah

Tidak hanya masalah harta, keturunan, kecantikan dan agama yang menjadi tolak ukur dalam kafa’ah, namun ada hal yang tak kalah penting dari hal-hal tersebut yaitu akhlak, budi pekerti dan sopan santun dari calon suami dan istri. Seorang lelaki sholeh meskipun berasal dari golongan fakir tetap berhak menikahi perempuan yang bersal dari golongan tinggi, selama ada kerelaan dari pihak perempuan.

Adapun maksud dari kesamaan antara dua belah pihak suami-istri terdapat dalam lima hal:

- Agama dan DiyanahIbnu Rusyd berkata: dikalangan madzhab Maliki tidak diperselisihkan lagi bahwa apabila seorang gadis dikawinkan oleh ayahnya dengan seorang peminum khamar (pemabuk), atau singkatnya dengan orang fasik, maka gadis tersebuut berhak menolak perkawinan tersebut.[4] Dari keterangan tersebut sudah jelas bahwa seorang calon suami-istri harus mengetahui latar belakang perilaku pribadinya masing-masing terutama soal agama dan tingkat kualitas keagamaannya;

- Nasab (Kedudukan, silsilah keturunan), Para fuqaha berikhtilaf tentang faktor nasab, apakah termasuk dalam pengertian kafa’ah atau tidak. Begitu pula tentang faktor hurriyah atau kemerdekaan, kekayaan dan keselamatan dari cacat (‘aib). Sufyan Al-Tsauri dan Imam Ahmad berpendapat bahwa wanita Arab tidak boleh kawin dengan hamba sahaya lelaki, Imam Abu Hanifah dan para pengikutnya berpendapat bahwa wanita Quraisy tidak boleh kawin kecuali dengan lelaki Quraisy, dan wanita Arab tidak boleh kawin kecuali dengan lelaki Arab pula. Perbedaan pendapat ini jelas Ibnu Rusyd disebebkan karena adanya ikhtilaf tentang mafhum (pengertian) dari sabda Nabi tentang kriteria memilih calon istri yang telah disebutkan dalam pembahasan sebelumnya.[5];

- Kemerdekaan dan Hirfah, Menurut ulama madzhab Hanafiyah, hal ini dapat dianalogikan orang yang memiliki keterampilan dibidang tenun kufu’ dengan gadis yang memiliki profesi yang mulia, seperti pedagang. Hirfah yaitu profesi dalam kehidupan, harus adanya kesesuaian antara pekerjaan dari pihak calon istri dan pekerjaan dari pihak calon suami.

- Kekayaan, Golongan Syafi’i berpendapat bahwa kemampuan laki-laki fakir dalam membelanjai istrinya adalah di bawah laki-laki kaya. Sebagian lain berpendapat bahwa kekayaan tidak dapat dijadikan kufu’ karena kekayaan itu sifatnya timbul tenggelam.

- Terbebas dari Cacat Fisik, Menurut ulama Malikiyah salah satu syarat kufu’ terbebas dari cacat. Bagi laki-laki yang memiliki cacat jasmani yang menonjol ia tidak se-kufu’ dengan perempuan yang sehat dan normal.

            Jika kita melihat pada Al-Qur’an dan As-Sunnah ditinjau dari segi insaniyahnya, seluruh manusia itu sama seperti tersebut dalam QS; Al-Hujurat ayat 13:

ياايها الناس انا خلقنكم من ذكر وانثى وجعلناكم شعوبا وقبائل لتعارفوا ان اكرمكم عند الله اتقاكم

‘’Hai manusia sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu...’’

            Setelah melalui tahap ukuran kafa’ah yang telah dijelaskan sebelumnya, dengan menggunakan kafa’ah akan memiliki hikmah dalam kehidupan rumah tangga, diantaranya:

a)      Kafa’ah merupakan wujud keadilan dan konsep kesetaraan yang ditawarkan Islam dalam pernikahan

Islam telah memberikan hak thalaq kepada pihak laki-laki secara mutlak, dan khulu’ bagi perempuan, namun ada pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab menyalahgunakan thalaq untuk berbuat seenaknya terhadap perempuan. Sebagai solusi akan hal tersebut, jauh sebelum pernikahan Islam telah memberikan hak kafa’ah terhadap perempuan, hal ini dimaksudkan agar pihak perempuan dapat selektif dalam memilih pasangan;

b)      Dalam Islam, suami memiliki fungsi sebagai imam dalam rumah tangga dan perempuan sebagai makmumnya. Hal ini akan berjalan harmonis apabila suami berada satu level dengan istrinya;

c)      Naik atau turunnya derajat seorang istri, sangat ditentukan oleh derajat suaminya.

Meskipun se-kufu’ bukanlah kewajiban bagi pasangan calon suami istri, tapi se-kufu’ menjadi anjuran pertimbangan bagi kedua belah pihak guna terciptanya keharmonisan dan kemaslahatan keluarga.


Azmi Ro'yal Aeni

[1] Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012), hlm. 97

[2] Ibid, hlm. 97

[3] Kompilasi Hukum Islam, (Bandung: CV. Nuansa Aulia), hlm. 18

[4] Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012), hlm. 99

[5] Ibid, hlm. 99

Posting Komentar untuk "Mendapatkan Pasangan se-Kufu’ dalam Pernikahan"