Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Penggugat dan Bukti dalam Peradilan Islam — Menegakkan Hak dengan Kebenaran

 


Pendahuluan

Dalam kehidupan manusia, tidak jarang terjadi perselisihan yang menyangkut hak dan kewajiban.
Ketika dua pihak berselisih dan tidak dapat menyelesaikannya secara damai, Islam memberikan jalan melalui peradilan (al-qadha’) agar keadilan ditegakkan.

Dalam proses peradilan, dikenal dua pihak penting, yaitu penggugat (al-mudda’i) dan tergugat (al-mudda’a ‘alaih).
Pihak penggugat adalah orang yang menuntut haknya, sedangkan pihak tergugat adalah orang yang dituntut atau dituduh.

Agar perkara dapat diputus secara adil, penggugat harus mengajukan bukti (al-bayyinah) untuk mendukung tuntutannya. Bukti inilah yang menjadi dasar hakim dalam menentukan benar atau tidaknya sebuah klaim.


Pengertian Penggugat dan Kedudukannya

Secara bahasa, al-mudda’i berarti orang yang mengklaim atau menuntut sesuatu.
Sedangkan secara istilah, penggugat adalah orang yang mengajukan tuntutan hak kepada hakim terhadap pihak lain.

Dalam hukum Islam, penggugat dianggap sebagai pihak yang “memulai perkara”. Oleh karena itu, ia memikul beban pembuktian (burden of proof).

Rasulullah SAW bersabda:

“Pendakwa (penggugat) wajib mendatangkan bukti, sedangkan orang yang menyangkal wajib bersumpah.”
(HR. Al-Baihaqi dan Ad-Daruquthni)

Hadis ini menjadi dasar utama dalam tata cara penyelesaian sengketa menurut hukum Islam.

Seorang penggugat tidak boleh hanya mengandalkan kata-kata atau emosi, tetapi harus mengajukan bukti nyata yang dapat memperkuat klaimnya. Dengan demikian, keadilan tidak berdasarkan dugaan, melainkan pada kebenaran yang dapat dibuktikan.


Pentingnya Bukti (Bayyinah) dalam Islam

Kata bayyinah secara bahasa berarti penjelasan yang terang dan nyata. Dalam konteks peradilan, bayyinah adalah segala sesuatu yang dapat memperjelas kebenaran suatu perkara.

Dalam Islam, bukti adalah dasar utama untuk menentukan siapa yang benar dan siapa yang salah.
Tanpa bukti, hakim tidak boleh memutuskan suatu perkara, meskipun ia merasa yakin berdasarkan perasaan pribadi.

Jenis-jenis bukti dalam peradilan Islam mencakup:

  1. Kesaksian (asy-syahadah).
    Yaitu pernyataan seseorang di hadapan hakim mengenai apa yang ia lihat atau dengar sendiri.

  2. Dokumen atau catatan tertulis.
    Misalnya surat perjanjian, akad, kwitansi, atau bukti transaksi yang sah.

  3. Pengakuan (al-iqrar).
    Bila pihak tergugat mengakui kebenaran klaim penggugat, maka perkara selesai tanpa perlu bukti tambahan.

  4. Sumpah (al-yamin).
    Jika bukti belum cukup, hakim dapat meminta pihak yang dituduh untuk bersumpah atas kebenarannya.

  5. Indikasi kuat (qarinah).
    Dalam beberapa kasus, bukti tidak langsung seperti sidik jari, saksi ahli, atau hasil investigasi dapat menjadi pertimbangan tambahan.

Dalam QS. Al-Baqarah [2]: 282, Allah SWT menegaskan pentingnya bukti tertulis:

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.”

Ayat ini menunjukkan bahwa Islam sangat menghargai pencatatan dan bukti dalam transaksi maupun perkara hukum, sebagai sarana menjaga keadilan dan mencegah perselisihan di kemudian hari.


Etika dalam Mengajukan Gugatan

Islam mengajarkan bahwa memperjuangkan hak harus dilakukan dengan cara yang jujur dan terhormat.
Penggugat tidak boleh mengada-ada, memfitnah, atau memanipulasi bukti untuk memenangkan perkara.

Rasulullah SAW bersabda:

“Sesungguhnya aku hanyalah manusia. Kalian datang kepadaku dengan membawa berbagai macam perkara. Bisa jadi sebagian dari kalian lebih pandai dalam berargumentasi daripada yang lain, maka aku memutuskan perkara berdasarkan apa yang aku dengar. Barang siapa aku menangkan padahal haknya milik orang lain, maka ia tidak akan mendapat apa pun selain sepotong api neraka.”
(HR. Bukhari dan Muslim)

Hadis ini menegaskan bahwa kemenangan di pengadilan tidak selalu berarti kemenangan di sisi Allah.
Bila penggugat menipu hakim dengan bukti palsu, maka ia telah melakukan kezaliman yang besar dan akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat.


Prinsip Keadilan dalam Pembuktian

Islam menekankan beberapa prinsip penting dalam proses pembuktian di pengadilan, di antaranya:

  1. Tidak ada keputusan tanpa bukti.
    Hakim wajib menunggu bukti yang jelas sebelum memberikan putusan.

  2. Bukti lebih kuat daripada dugaan.
    Keyakinan harus dibangun atas dasar fakta, bukan prasangka.

  3. Setiap bukti harus diverifikasi.
    Bukti palsu atau kesaksian yang tidak sah tidak boleh dijadikan dasar hukum.

  4. Tujuan utama adalah keadilan.
    Semua proses hukum dalam Islam bermuara pada satu hal — menegakkan keadilan sebagaimana diperintahkan Allah SWT.


Penutup

Penggugat dan bukti merupakan dua unsur yang tidak dapat dipisahkan dalam peradilan Islam.
Keduanya menjadi fondasi untuk menegakkan keadilan dan menjaga hak-hak manusia dari kezaliman.

Melalui ajaran ini, Islam mengajarkan bahwa memperjuangkan hak bukan hanya persoalan hukum, tetapi juga ujian kejujuran dan integritas.

Seorang penggugat yang jujur, hakim yang adil, dan saksi yang benar — semuanya berperan dalam menegakkan hukum Allah di bumi.
Dan siapa pun yang memperjuangkan kebenaran dengan niat tulus, akan mendapatkan kemuliaan di dunia dan pahala besar di akhirat.

“Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa.”
(QS. Al-Ma’idah [5]: 8)

Posting Komentar untuk "Penggugat dan Bukti dalam Peradilan Islam — Menegakkan Hak dengan Kebenaran"