Bughot dalam Islam — Antara Keadilan, Ketaatan, dan Tanggung Jawab Sosial
Pendahuluan
Islam adalah agama yang menjunjung tinggi persatuan, keadilan, dan kedamaian.
Namun, dalam realitas kehidupan sosial, terkadang muncul kelompok yang memberontak atau menentang pemerintah yang sah karena berbagai sebab — mulai dari ketidakadilan, perebutan kekuasaan, hingga perbedaan pandangan.
Fenomena ini dalam Islam disebut bughot (بُغَاة), yang berarti pemberontakan atau kelompok yang keluar dari ketaatan terhadap pemerintah Muslim yang sah (imam/khalifah).
Hukum Islam membahas bughot secara mendalam, bukan untuk melegalkan kekerasan, tetapi untuk menjaga stabilitas dan keadilan umat — agar konflik tidak merusak tatanan masyarakat dan menumpahkan darah tanpa hak.
Pengertian Bughot
Secara bahasa, bughot berasal dari kata baghā – yabghī – bughyān, yang berarti “melampaui batas”, “melakukan penentangan”, atau “melakukan kezaliman.”
Secara istilah fikih, bughot adalah kelompok Muslim yang memberontak kepada imam (pemerintah) yang sah karena menolak ketaatan atau menentang hukum yang telah ditetapkan dengan kekuatan senjata.
Imam An-Nawawi menjelaskan:
“Bughot adalah sekelompok Muslim yang memiliki kekuatan dan menentang pemimpin yang sah dengan alasan tertentu, tidak sekadar karena dosa atau maksiat.”
(Syarh Shahih Muslim, juz 12)
Dari definisi ini, dapat disimpulkan bahwa bughot berbeda dengan maksiat atau kriminalitas biasa. Bughot melibatkan unsur politik, kekuasaan, dan perlawanan bersenjata.
Dasar Hukum Bughot
Hukum bughot disebutkan secara jelas dalam Al-Qur’an, yakni dalam QS. Al-Hujurat [49]: 9:
“Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mukmin berperang, maka damaikanlah antara keduanya.
Jika salah satu dari keduanya berbuat aniaya terhadap yang lain, maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu hingga mereka kembali kepada perintah Allah.
Jika mereka telah kembali, maka damaikanlah antara keduanya dengan adil dan berlaku adillah; sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.”
Ayat ini menjadi pedoman utama dalam menyikapi pemberontakan:
-
Upayakan perdamaian terlebih dahulu.
-
Jika kelompok bughot tidak mau berdamai dan terus berbuat zalim, maka boleh diperangi.
-
Jika mereka sudah kembali kepada ketaatan, maka tidak boleh menzalimi mereka.
Syarat-Syarat Bughot
Para ulama fikih menetapkan bahwa sebuah tindakan baru disebut bughot apabila memenuhi beberapa syarat berikut:
-
Pelakunya adalah kaum Muslim.
Jika pelakunya non-Muslim, maka disebut harbiy (musuh perang), bukan bughot. -
Memiliki kekuatan dan senjata.
Jika hanya segelintir orang tanpa kekuatan, maka bukan bughot, melainkan pelanggaran hukum biasa. -
Melakukan penentangan terhadap imam atau pemerintah yang sah.
Artinya, pemerintah yang mereka lawan masih menegakkan hukum Islam dan tidak melakukan kekufuran yang nyata. -
Memiliki alasan yang dapat ditinjau secara syariat.
Misalnya, karena merasa ada ketidakadilan atau kebijakan yang dianggap bertentangan dengan hukum Allah. Namun, alasan ini tidak membenarkan pemberontakan jika masih bisa diselesaikan dengan cara damai.
Sikap Pemerintah terhadap Kelompok Bughot
Islam mengajarkan agar pemerintah tidak langsung memerangi pemberontak, tetapi terlebih dahulu melakukan langkah-langkah persuasif:
-
Menegur dan mengajak berdialog.
Pemerintah wajib mendengar alasan mereka dan berusaha mendamaikan dengan cara yang adil. -
Tidak menzalimi rakyat.
Jangan sampai pemberontakan disebabkan oleh kezaliman penguasa sendiri. Pemerintah juga wajib introspeksi diri. -
Jika bughot tetap menolak berdamai, barulah diperangi.
Perang dilakukan untuk menghentikan kezaliman, bukan untuk membalas dendam. -
Menjaga agar perang tidak merusak masyarakat.
Tidak boleh membunuh yang tidak ikut memberontak, tidak merusak harta benda, dan tidak mengejar pelarian.
Rasulullah SAW dan para sahabat mencontohkan prinsip ini saat menghadapi kelompok bughot seperti Khawarij, dengan tujuan untuk mengembalikan mereka ke jalan ketaatan, bukan memusnahkan.
Hukum terhadap Harta dan Nyawa Kelompok Bughot
Dalam fikih Islam, bughot tetap diperlakukan sebagai saudara seiman, bukan musuh kafir.
Oleh karena itu:
-
Harta dan nyawa mereka tetap dihormati jika mereka berhenti melawan.
-
Tawanan mereka tidak diperjualbelikan.
-
Harta rampasan (ghanimah) dari perang melawan bughot tidak dibagi seperti perang melawan kafir, melainkan dikembalikan kepada pemiliknya.
Ini menunjukkan bahwa tujuan memerangi bughot bukan untuk menguasai, tetapi untuk menegakkan keadilan dan keamanan.
Hikmah dan Pelajaran dari Hukum Bughot
-
Menjaga persatuan umat Islam.
Perpecahan adalah sumber kehancuran. Dengan adanya hukum bughot, Islam berusaha menekan konflik internal. -
Mendidik pemimpin agar adil.
Pemerintah dilarang berbuat zalim karena kezaliman adalah akar dari pemberontakan. -
Mendidik rakyat agar sabar dan taat.
Ketidaksetujuan terhadap pemimpin tidak boleh disalurkan melalui kekerasan, melainkan dengan nasihat, musyawarah, dan doa. -
Menegakkan prinsip amar makruf nahi mungkar secara bijak.
Melawan kezaliman boleh, tetapi tidak dengan cara yang lebih zalim.
Penutup
Bughot dalam Islam adalah persoalan serius yang menyangkut keadilan, ketaatan, dan keamanan umat.
Islam menolak pemberontakan yang bersifat anarkis, tetapi juga menolak kezaliman penguasa.
Keseimbangan antara ketaatan kepada pemimpin dan kewajiban menegakkan keadilan menjadi kunci utama.
Selama pemerintah masih menegakkan syariat dan keadilan, maka umat wajib taat. Namun bila terjadi penyimpangan, Islam menuntun umat untuk menasihati, bukan memberontak.
“Dan taatilah Allah, taatilah Rasul, dan ulil amri di antara kamu.”
(QS. An-Nisa [4]: 59)
Ketaatan kepada pemimpin dalam Islam bukan karena manusiawinya sang pemimpin, tetapi karena ketaatan itu merupakan bagian dari ketaatan kepada Allah.
Dengan prinsip ini, Islam menjaga agar umat hidup damai, tertib, dan tetap berada di jalan yang benar.

Posting Komentar untuk "Bughot dalam Islam — Antara Keadilan, Ketaatan, dan Tanggung Jawab Sosial"